emhaes-wwwemhaescom.blogspot.com/

Rabu, 24 Agustus 2011

SEMPURNA PUASA

Minggu, 31 Juli 2011

T E N T A N G B I D ' A H

Setelah adanya uraian
singkat tapi cukup
jelas pada halaman
sebelum ini mengenai
faham Salafi/Wahabi
dan pengikutnya, marilah kita teruskan
mengupas apa yang
dimaksud Bid'ah
menurut syari'at Islam
serta wejangan/
pandangan para ulama pakar tentang masalah
ini. Dengan demikian
insya Allah buat kita
lebih jelas bid'h mana
yang dilarang dan yang
dibolehkan dalam syari'at Islam.
Pada dasarnya semua
amal kebajikan yang
sejalan dengan
tuntutan syari'at,
tidak bertentangan dengan Kitabullah dan
Sunnah Rasulallah saw,
dan tidak
mendatangkan
madharat/akibat buruk,
tidak dapat disebut Bid'ah menurut
pengertian istilah
syara'. Nama yang
tepat adalah Sunnah
Hasanah, sebagaimana
yang terdapat dalam hadits Rasulallah saw.
yang artinya sebagai
berikut :
"Barangsiapa yang
didalam Islam merintis
jalan (sunnah) kebajikan ia
memperoleh pahalanya
dan pahala orang yang
mengamalkannya
sesudah dia tanpa
dikurangi sedikit pun juga. Barangsiapa yang
didalam Islam merintis
jalan (sunnah)
kejahatan ia memikul
dosanya dan dosa
orang yang mengamalkannya
sesudah dia tanpa
dikurangi sedikit pun
juga ". (HR.Muslim). Dan
beredar banyak hadits
yang semakna ini. Amal kebajikan seperti
itu dapat disebut
'Bid'ah' hanya menurut
pengertian bahasa,
karena apa saja yang
baru 'diadakan' disebut dengan nama Bid'ah.
Ada orang berpegang
bahwa istilah bid'ah itu
hanya satu saja
dengan berdalil sabda
Rasulallah saw. "Setiap bid'ah adalah
sesat..." ("Kullu bid'atin
dholalah"), serta tidak
ada istilah bid'ah
hasanah, wajib dan
sebagainya. Setiap amal yang
dikategorikan sebagai
bid'ah, maka hukumya
haram, karena bid'ah
dalam pandangan
mereka adalah sesuatu yang haram dikerjakan
secara mutlak.
Sayangnya mereka ini
tidak mau berpegang
kepada hadits- hadits
lain (keterangan lebih mendetail baca
halaman selanjutnya)
yang membuktikan
sikap Rasulallah saw.
yang membenarkan dan
meridhoi berbagai amal kebajikan tertentu
(yang baru 'diadakan' )
yang dilakukan oleh
para sahabatnya yang
sebelum dan
sesudahnya tidak ada perintah beliau saw.!
Disamping itu banyak
sekali amal kebajikan
yang diamalkan oleh
isteri Nabi saw. 'Aisyah
ra., Khalifah 'Umar bin Khattab ra serta para
sahabat lainnya
esetelah wafatnya
Rasulallah saw. yang
amalan-amalan ini tidak
pernah adanya petunjuk dari beliau
saw.e dan mereka
kategorikan/ucapkan
sendiri bahwa amalan
itu sebagai amalan
bid'ah (untuk lebih mendetail baca uraian
selanjutnya), tetapi
tidak ada satupun dari
para sahabat yang
mengatakan bahwa
sebutan bid'ah itu adalah otomatis haram,
sesat dan tidak ada
kata bid'ah selain
haram.
Untuk mencegah
timbulnya kesalah- fahaman mengenai
kata Bid'ah itulah para
Imam dan ulama Fiqih
memisahkan makna
Bid'ah menjadi
beberapa jenis, misalnya :
Menurut Imam Syafi'i
tentang pemahaman
bid'ah ada dua riwayat
yang menjelaskannya.
Pertama, riwayat Abu Nu'aim;
'Bid'ah itu ada dua
macam, bid'ah terpuji
dan bid'ah tercela.
Bid'ah yang sesuai
dengan sunnah, maka itulah bid'ah yang
terpuji sedangkan yang
menyalahi sunnah,
maka dialah bid'ah
yang tercela'.
Kedua, riwayat Al- Baihaqi dalam Manakib
Imam Syafi'i:
'Perkara-perkara baru
itu ada dua macam.
Pertama, perkara-
perkara baru yang menyalahi Al-Qur'an,
Hadits, Atsar atau
Ijma'. Inilah bid'ah
dholalah/sesat. Kedua,
adalah perkara-
perkara baru yang mengandung kebaikan
dan tidak
bertentangan dengan
salah satu dari yang
disebutkan tadi, maka
bid'ah yang seperti ini tidaklah tercela'.
Banyak sekali para
Imam dan ulama pakar
yang sependapat
dengan Imam Syafi'i itu.
Bahkan banyak lagi yang menetapkan
perincian lebih jelas lagi
seperti Imam Nawawi,
Imam Ibnu 'Abdussalam,
Imam Al-Qurafiy, Imam
Ibnul-'Arabiy. Ada sebagian ulama
yang mengatakan
bahwa bid'ah itu adalah
segala praktek baik
termasuk dalam ibadah
ritual mau pun dalam masalah muamalah,
yang tidak pernah
terjadi di masa
Rasulullah saw. Meski
namanya bid'ah, namun
dari segi ketentuan hukum syari't,,
hukumnya tetap
terbagi menjadi lima
perkara sebagaimana
hukum dalam fiqih.
Dengan demikian ada bid'ah yang hukumnya
haram, wajib, sunnah,
makruh dan mubah.
Menurut Al-Hafizh Ibnu
Hajr dalam kitabnya
Fathul Baari 4/318 sebagai berikut : "Pada
asalnya bid'ah itu
berarti sesuatu yang
diadakan dengan tanpa
ada contoh yang
mendahului. Menurut syara' bid'ah itu
dipergunakan untuk
sesuatu yang
bertentangan dengan
sunnah, maka jadilah
dia tercela. Yang tepat bahwa bid'ah itu
apabila dia termasuk
diantara sesuatu yang
dianggap baik menurut
syara', maka dia
menjadi baik dan jika dia termasuk diantara
sesuatu yang dianggap
jelek oleh syara', maka
dia menjadi jelek. Jika
tidak begitu, maka dia
termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang
bid'ah itu terbagi
kepada hukum-hukum
yang lima".
Pendapat beliau ini
senada juga yang diungkapkan oleh
ulama-ulama pakar
berikut ini :
Jalaluddin as-Suyuthi
dalam risalahnya Husnul
Maqooshid fii 'Amalil Maulid dan juga dalam
risalahnya Al-
Mashoobih fii Sholaatit
Taroowih; Az-Zarqooni
dalam Syarah al
Muwattho' ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam
Al-Qowaa'id ; As-
Syaukani dalam Nailul
Author ; Ali al Qoori'
dalam Syarhul
Misykaat; Al- Qastholaani dalam
Irsyaadus Saari Syarah
Shahih Bukhori, dan
masih banyak lagi
ulama lainnya yang
senada dengan beliau ini yang tidak saya
kutip disini.
Ada lagi golongan
menganggap semua
bid'h itu dholalah/sesat
dan tidak mengakui adanya bid'h hasanah/
mahmudah, tetapi
mereka sendiri
membagi bid'h menjadi
beberapa macam. Ada
bid'h mukaffarah (bid'h kufur), bid'h
muharramah (bid'h
haram) dan bid'h
makruh (bid'h yang
tidak disukai). Mereka
tidak menetapkan adanya bid'h mubah,
seolah-olah mubah itu
tidak termasuk
ketentuan hukum
syari't, atau seolah-
olah bid'h diluar bidang ibadah tidak perlu
dibicarakan.
Sedangkan menurut
catatan As-Sayyid
Muhammad bin Alawy
Al-Maliki Al-Hasani (salah seorang ulama
Mekkah) dalam
makalahnya yang
berjudul Haulal-Ihtifal
Bil Maulidin
Nabawayyisy Syarif ( Sekitar Peringatan
Maulid Nabi Yang Mulia)
bahwa menurut ulama
(diantraranya Imam
Nawawi dalam Syarah
Muslim jilid 6/154-pen.) bid'ah itu dibagi
menjadi lima bagian
yaitu :
1. Bid'ah wajib; seperti
menyanggah orang
yang menyelewengkan agama, dan belajar
bahasa Arab,
khususnya ilmu Nahwu.
2. Bid'ah mandub/baik;
seperti membentuk
ikatan persatuan kaum muslimin, mengadakan
sekolah-sekolah,
mengumandangkan
adzan diatas menara
dan memakai pengeras
suara, berbuat kebaikan yang pada
masa pertumbuhan
Islam belum pernah
dilakukan.
3. Bid'ah makruh;
menghiasi masjid-masjid dengan hiasan-hiasan
yang bukan pada
tempatnya,
mendekorasikan kitab-
kitab Al-Qur'an dengan
lukisan-lukisan dan gambar-gambar yang
tidak semestinya.
4. Bid'ah mubah;
seperti menggunakan
saringan (ayakan),
memberi warna-warna pada makanan (selama
tidak mengganggu
kesehatan) dan lain
sebagainya.
5. Bid'ah haram; semua
perbuatan yang tidak sesuai dengan dalil-dalil
umum hukum syari'at
dan tidak mengandung
kemaslahatan yang
dibenarkan oleh syari'at.
Bila semua bid'ah (masalah yang baru)
adalah dholalah/sesat
atau haram, maka
sebagian amalan-
amalan para sahabat
serta para ulama yang belum pernah dilakukan
atau diperintahkan
Rasulallah saw.
semuanya dholalah
atau haram, misalnya :
a). Pengumpulan ayat- ayat Al-Qur'an,
penulisannya serta
pengumpulannya
(kodifikasinya) sebagai
Mushhaf (Kitab) yang
dilakukan oleh sahabat Abubakar, Umar bin
Khattab dan Zaid bin
Tsabit ra adalah
haram. Padahal tujuan
mereka untuk
menyelamatkan dan melestarikan keutuhan
dan keautentikan ayat-
ayat Allah. Mereka
khawatir kemungkinan
ada ayat-ayat Al-
Qur'an yang hilang karena orang-orang
yang menghafalnya
meninggal.
b). Perbuatan khalifah
Umar bin Khattab ra
yang mengumpulkan kaum muslimin dalam
shalat tarawih
berma'mum pada
seorang imam adalah
haram. Bahkan ketika
itu beliau sendiri berkata : 'Bid'ah ini
sungguh nikmat'.
c). Pemberian gelar
atau titel kesarjanaan
seperti ; doktor, drs
dan sebagainya pada universitas Islam
adalah haram, yang
pada zaman Rasulallah
saw. cukup banyak
para sahabat yang
pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak
satupun dari mereka
memakai titel
dibelakang namanya.
d). Mengumandangkan
adzan dengan pengeras suara,
membangun rumah
sakit-rumah sakit,
panti asuhan untuk
anak yatim piatu,
membangun penjara untuk mengurung
orang yang bersalah
berbulan-bulan atau
bertahun-tahun ebaik
itu kesalahan kecil
maupun besare dan sebagainya adalah
haram. Sebab dahulu
orang yang bersalah
langsung diberi
hukumannya tidak
harus dikurung dahulu. e). Tambahan adzan
sebelum khotbah
Jum'at yang
dilaksanakan pada
zamannya khalifah
Usman ra. Sampai sekarang bisa kita lihat
dan dengar pada
waktu sholat Jum'at
baik di Indonesia, di
masjid Haram Mekkah
dan Madinah dan negara-negara Islam
lainnya. Hal ini
dilakukan oleh khalifah
Usman karena
bertambah banyaknya
ummat Islam. f). Menata ayat-ayat
Al-Quran dan memberi
titik pada huruf-
hurufnya, memberi
nomer pada ayat-
ayatnya. Mengatur juz dan rubu'nya dan
tempat-tempat dimana
dilakukan sujud
tilawah, menjelaskan
ayat Makkiyyah dan
Madaniyyah pada kof setiap surat dan
sebagainya.
g). Begitu juga masalah
menyusun kekuatan
yang diperintahkan
Allah swt. kepada ummat Muhammad
saw... Kita tidak terikat
harus meneruskan cara-
cara yang biasa
dilakukan oleh kaum
muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu
menolak atau melarang
penggunaan pesawat-
pesawat tempur, tank-
tank raksasa, peluru-
peluru kendali, raket- raket dan
persenjataan modern
lainnya.
Masih banyak lagi
contoh-contoh bid'ah/
masalah yang baru seperti mengadakan
syukuran waktu
memperingati hari
kemerdekaan, halal
bihalal, memperingati
hari ulang tahun berdirinya sebuah
negara atau pabrik dan
sebagainya (pada
waktu memperingati
semua ini mereka
sering mengadakan bacaan syukuran),
yang mana semua ini
belum pernah dilakukan
pada masa hidupnya
Rasulallah saw. serta
para pendahulu kita dimasa lampau. Juga
didalam manasik haji
banyak kita lihat dalam
hal peribadatan tidak
sesuai dengan
zamannya Rasulallah saw. atau para
sahabat dan tabi'in
umpamanya;
pembangunan hotel-
hotel disekitar Mina
dan tenda-tenda yang pakai full a/c sehingga
orang tidak akan
kepanasan, nyenyak
tidur, menaiki mobil
yang tertutup (beratap)
untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat
yang dituju untuk
manasik Haji tersebut
dan lain sebagainya.
Sesungguhnya bid'ah
(masalah baru) tersebut walaupun
tidak pernah dilakukan
pada masa Nabi saw.
serta para pendahulu
kita, selama masalah ini
tidak menyalahi syari'at Islam, bukan
berarti haram untuk
dilakukan.
Kalau semua masalah
baru tersebut dianggap
bid'ah dholalah (sesat), maka akan tertutup
pintu ijtihad para
ulama, terutama pada
zaman sekarang
tehnologi yang sangat
maju sekali, tapi alhamdulillah pikiran
dan akidah sebagian
besar umat muslim
tidak sedangkal itu.
Sebagaimana telah
penulis cantumkan sebelumnya bahwa
para ulama diantaranya
Imam Syafi'i, Al-Izz bin
Abdis Salam, Imam
Nawawi dan Ibnu Atsir
ra. serta para ulama lainnya menerangkan:
"Bid'ah/masalah baru
yang diadakan ini bila
tidak menyalahi atau
menyimpang dari garis-
garis syari'at, semuanya mustahab
(dibolehkan) apalagi
dalam hal kebaikan dan
sejalan dengan dalil
syar'i adalah bagian
dari agama". Semua amal kebaikan
yang dilakukan para
sahabat, kaum salaf
sepeninggal Rasulallah
saw. telah diteliti para
ulama dan diuji dengan Kitabullah, Sunnah
Rasulallah saw. dan
kaidah-kaidah hukum
syari'at. Dan setelah
diuji ternyata baik,
maka prakarsa tersebut dinilai baik
dan dapat diterima.
Sebaliknya, bila setelah
diuji ternyata buruk,
maka hal tersebut
dinilai buruk dan dipandang sebagai
bid'ah tercela.
Ibnu Taimiyyah dalam
kitabnya Iqtidha'us
Shiratil-Mustaqim
banyak menyebutkan bentuk-bentuk
kebaikan dan sunnah
yang dilakukan oleh
generasi-generasi yang
hidup pada abad-abad
permulaan Hijriyyah dan zaman berikutnya.
Kebajikan-kebajikan
yang belum pernah
dikenal pada masa
hidupnya Nabi
Muhammad saw. itu diakui kebaikannya oleh
Ibnu Taimiyyah. Beliau
tidak melontarkan
celaan terhadap ulama-
ulama terdahulu yang
mensunnahkan kebajikan tersebut,
seperti Imam Ahmad bin
Hambal, Ibnu Abbas,
Umar bin Khattab dan
lain-lainnya.
Diantara kebajikan yang disebutkan oleh
beliau dalam kitabnya
itu ialah pendapat
Imam Ahmad bin Hambal
diantaranya :
Mensunnahkan orang berhenti sejenak
disebuah tempat dekat
gunung 'Arafah sebelum
wukuf dipadang 'Arafah
ebukannya didalam
masjid tertentu sebelum Mekkahe,
mengusap-usap mimbar
Nabi saw. didalam
masjid Nabawi di
Madinah, dan lain
sebagainya. Ibnu Taimiyyah
membenarkan
pendapat kaum
muslimin di Syam yang
mensunnahkan shalat
disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha
(Palestina), tempat
khalifah Umar dahulu
pernah menunaikan
sholat. Padahal sama
sekali tidak ada nash mengenai sunnahnya
hal-hal tersebut
diatas. Semuanya
hanyalah pemikiran
atau ijtihad mereka
sendiri dalam rangka usaha memperbanyak
kebajikan, hal mana
kemudian diikuti oleh
orang banyak dengan
itikad jujur dan niat
baik. Meskipun begitu, dikalangan muslimin
pada masa itu tidak
ada yang mengatakan :
"Kalau hal-hal itu baik
tentu sudah diamalkan
oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada
zaman sebelumnya".
(perkataan ini sering
diungkapkan oleh
golongan pengingkar).
Masalah-masalah serupa itu banyak
disebut oleh Ibnu
Taimiyyah dikitab
Iqtidha ini, antara lain
soal tawassul (do'
perantaran) yang dilakukan oleh isteri
Rasulallah saw. 'Aisyah
ra. Yaitu ketika ia
membuka penutup
makam Nabi saw. lalu
sholat istisqa (sholat mohon hujan) ditempat
itu, tidak beberapa
lama turunlah hujan di
Madinah, padahal tidak
ada nash sama sekali
mengenai cara-cara seperti itu. Walaupun
itu hal yang baru
(bid'ah) tapi dipandang
baik oleh kaum
muslimin, dan tidak ada
sahabat yang mencela dan mengatakan bid'h
dholalah/sesat.
Sebuah hadits yang
diketengahkan oleh
Imam Bukhori dalam
shohihnya jilid 1 halaman 304 dari Siti
'Aisyah ra., bahwasanya
ia selalu sholat Dhuha,
padahal Aisyah ra.
sendiri berkata bahwa
ia tidak pernah menyaksikan Rasulallah
saw. sholat dhuha.
Pada halaman 305
dibuku ini Imam Bukhori
juga mengetengahkan
sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid
yang mengatakan :
"Saya bersama Srwah
bin Zubair masuk
kedalam masjid Nabi
saw.. Tiba-tiba kami melihat 'Abdullah bin
Zubair sedang duduk
dekat kamar 'Aisyah ra
dan banyak orang
lainnya sedang sholat
dhuha. Ketika hal itu kami tanyakan kepada
'Abudllah bin Zubair
(mengenai sholat dhuha
ini) ia menjawab : "Bid'h".
'Aisyah ra seorang
isteri Nabi saw. yang terkenal cerdas, telah
mengatakan sendiri
bahwa dia sholat
dhuha sedangkan Nabi
saw. tidak
mengamalkannya. Begitu juga 'Abdullah
bin Umar (Ibnu Umar)
mengatakan sholat
dhuha adalah bid'ah,
tetapi tidak
seorangpun yang mengatakan bahwa
bid'ah itu bid'ah haram,
dholalah/sesat yang
pelakunya akan
dimasukkan keneraka !
Dengan demikian masalah baru yang
dinilai baik dan dapat
diterima ini disebut
bid'ah hasanah. Karena
sesuatu yang
diperbuat atau dikerjakan oleh isteri
Nabi atau para sahabat
yang tersebut diatas
bukan atas perintah
Allah dan Rasul-Nya itu
bisa disebut bid'ah tapi sebagai bid'ah al-
Hasanah. Semuanya Ini
dalam pandangan
hukum syari'at bukan
bid'ah melainkan
sunnah mustanbathah yakni sunnah yang
ditetapkan
berdasarkan istinbath
atau hasil ijtihad.
Dalam makalah As-
Sayyid Muhammad bin Alawiy Al-Maliki Al-
Hasani rh yang berjudul
Haulal Ihtifal bil
Mauliddin Nabawiyyisy
Syarif tersebut
disebutkan : Yang dikatakan oleh orang
fanatik (extreem)
bahwa apa-apa yang
belum pernah dilakukan
oleh kaum salaf,
tidaklah mempunyai dalil bahkan tiada dalil
sama sekali bagi hal
itu. Ini bisa dijawab
bahwa tiap orang yang
mendalami ilmu
ushuluddin mengetahui bahwa Asy-Syar'i
(Rasulallah saw.)
menyebutnya bid'ahtul
hadyi (bid'ah dalam
menentukan petunjuk
pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya) sunnah,
dan menjanjikan pahala
bagi pelakunya.
Firman Allah swt. 'Dan
hendaklah ada diantara
kamu segolongan umat yang menyeru kepada
yang ma'ruf dan
mencegah dari yang
munkar, merekalah
orang-orang yang
beruntung'. (Ali Imran (3) : 104).
Allah swt. berfirman :
'Hendaklah kalian
berbuat kebaikan agar
kalian memperoleh
keuntungan". (Al-Hajj:77) Abu Mas'ud (Uqbah) bin
Amru Al-Anshory ra
berkata; bersabda
Rasulallah saw.;
'Siapa yang
menunjukkan kepada kebaikan, maka ia
mendapat pahala sama
dengan yang
mengerjakannya'.
( HR.Muslim)
Dalam hadits riwayat Muslim Rasulallah saw.
bersabda:
'Barangsiapa
menciptakan satu
gagasan yang baik
dalam Islam maka dia memperoleh pahalanya
dan juga pahala orang
yang melaksanakannya
dengan tanpa dikurangi
sedikitpun, dan
barangsiapa menciptakan satu
gagasan yang jelek
dalam Islam maka dia
terkena dosanya dan
juga dosa orang-orang
yang mengamalkannya dengan tanpa dikurangi
sedikitpun".
Masih banyak lagi
hadits yang serupa
diatas riwayat Muslim
dari Abu Hurairah dan dari Ibnu Mas'ud ra.
Sebagian golongan
memberi ta'wil bahwa
yang dimaksud dengan
kalimat sunnah dalam
hadits diatas adalah ; Apa-apa yang telah
ditetapkan oleh
Rasulallah saw. dan
para Khulafa'ur
Roosyidin, bukan
gagasan-gagasan baik yang tidak terjadi pada
masa Rasulallah saw
dan Khulafa'ur Rosyidin.
Yang lain lagi
memberikan ta'wil
bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah
hasanah dalam hadits
itu adalah sesuatu
yang diada-adakan
oleh manusia daripada
perkara-perkara keduniaan yang
mendatangkan
manfaat, sedangkan
maksud sunnah sayyiah/
buruk adalah sesuatu
yang diada-adakan oleh manusia daripada
perkara-perkara
keduniaan yang
mendatangkan bahaya
dan kemudharatan.
Dua macam pembatasan mereka
diatas ini mengenai
makna hadits diatas ini
merupakan satu
bentuk pembatasan
hadits dengan tanpa dalil, karena secara
jelas hadits tersebut
membenarkan adanya
gagasan-gagasan
kebaikan pada masa
kapanpun dengan tanpa ada pembatasan
pada masa-masa
tertentu. Juga secara
jelas hadits itu
menunjuk kepada
semua perkara yang diadakan dengan tanpa
ada contoh yang
mendahului baik dia itu
dari perkara-perkara
dunia ataupun perkara-
perkara agama!! Saya tambahkan
sedikit lagi mengenai
makna hadits Rasulallah
saw. yang menyuruh
ummatnya agar
senantiasa berpegang pada sunnahnya dan
sunnah para Khulafa'ur
Roosyidun sepeninggal
beliau saw.:
"Hendaklah kalian
berpegang pada sunnahku dan sunnah
para Khalifah Rasyidun
sepeninggalku". (HR.Abu
Daud dan Tirmidzi).
Yang dimaksud sunnah
dalam hadits ini adalah thariqah yakni jalan,
cara atau kebijakan;
dan yang dimaksud
Khalifah Rasyidun ialah
para penerus
kepemimpinan beliau yang lurus.Sebutan itu
tidak terbatas berlaku
bagi empat Khalifah
sepeninggal Rasulallah
saw. saja, tetapi dapat
diartikan lebih luas berdasarkan makna
hadits yang lain : "Para
ulama adalah ahli-waris
para Nabi ". Dengan
demikian maka dapat
berarti pula para ulama dikalangan kaum
muslimin berbagai
zaman, mulai dari
zaman kaum Salaf
(dahulu), zaman kaum
Tabi'in, Tabi'it-Tabi'in dan seterusnya; dari
generasi ke generasi,
mereka adalah Ulul-
amri yang disebut
dalam Al-Qur'an surat
An-Nisa : 63 : "Sekiranya mereka
menyerahkan (urusan
itu) kepada Rasul dan
Ulul-amri (orang-orang
yang mengurus
kemaslahatan ummat) dari mereka sendiri,
tentulah orang-orang
yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan
dapat) mengetahui dari
mereka (ulul-amri)". Para alim-ulama
ebukan kaum awame
yang mengurus
kemaslahatan ummat
Islam, khususnya dalam
kehidupan beragama. Sebab, mereka itulah
yang mengetahui
ketentuan-ketentuan
dan hukum-hukum
agama. Ibnu Mas'ud ra.
menegaskan : "Allah telah memilih
Muhammad saw.
(sebagai Nabi dan
Rasulallah) dan telah
pula memilih sahabat-
sahabatnya. Karena itu apa yang dipandang
baik oleh kaum
muslimin, baik pula
dalam pandangan Allah
". Demikian yang
diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hambal
didalam Musnad-nya
dan dinilainya sebagai
hadits Hasan (hadits
baik).
Dengan pengertian epenakwilan kalimat
sunnah dalam hadits
diatase yang salah ini
golongan tertentu ini
dengan mudah
membawa keumuman hadits kullu bid'atin
dholalah (semua bid'ah
adalah sesat) terhadap
semua perkara baru,
baik yang
bertentangan dengan nash dan dasar-dasar
syari'at maupun yang
tidak. Berarti mereka
telah mencampur-aduk
kata bid'ah itu antara
penggunaannya yang syar'i dan yang lughawi
(secara bahasa) dan
mereka telah terjebak
dengan ketidak
fahaman bahwa
keumuman yang terdapat pada hadits
hanyalah terhadap
bid'ah yang syar'i yaitu
setiap perkara baru
yang bertentangan
dengan nash dan dasar syari'at. Jadi bukan
terhadap bid'ah yang
lughawi yaitu setiap
perkara baru yang
diadakan dengan tanpa
adanya contoh. Bid'ah lughawi inilah
yang terbagi dua yang
pertama adalah mardud
yaitu perkara baru
yang bertentangan
dengan nash dan dasar- dasar syari'at dan
inilah yang disebut
bid'ah dholalah,
sedangkan yang kedua
adalah kepada yang
maqbul yaitu perkara baru yang tidak
bertentangan dengan
nash dan dasar-dasar
syari'at dan inilah yang
dapat diterima
walaupun terjadinya itu pada masa-masa
dahulu/pertama atau
sesudahnya.
Barangsiapa yang
memasukkan semua
perkara baru e yang tidak pernah
dikerjakan oleh
Rasulallah saw, para
sahabat dan mereka
yang hidup pada abad-
abad pertama itue kedalam bid'ah
dholalah, maka dia
haruslah mendatangkan
terlebih dahulu nash-
nash yang khos
(khusus) untuk masalah yang baru itu maupun
yang 'am (umum), agar
yang demikian itu tidak
bercampur-aduk
dengan bid'ah yang
maqbul berdasarkan penggunaannya yang
lughawi. Karena
tuduhan bid'ah dholalah
pada suatu amalan
sama halnya dengan
tuduhan mengharamkan amalan
tersebut.
Kalau kita baca hadits
dan firman Ilahi dibuku
ini, kita malah
diharuskan sebanyak mungkin menjalankan
ma'ruf (kebaikan) yaitu
semua perbuatan yang
mendekatkan kita
kepada Allah swt. dan
menjauhi yang mungkar (keburukan) yaitu
semua perbuatan yang
menjauhkan kita dari
pada-Nya agar kita
memperoleh
keuntungan (pahala dan kebahagian didunia
maupun diakhirat kelak)
. Begitupun juga orang
yang menunjukkan
kepada kebaikan
tersebut akan diberi oleh Allah swt. pahala
yang sama dengan
orang yang
mengerjakannya.
Apakah kita hanya
berpegang pada satu hadits yang kalimatnya:
semua bid'ah dholalah
dan kita buang ayat
ilahi dan hadits-hadits
yang lain yang
menganjurkan manusia selalu berbuat kepada
kebaikan ? Sudah
tentu Tidak ! Yang
benar ialah bahwa kita
harus berpegang pada
semua hadits yang telah diterima
kebenarannya oleh
jumhurul-ulama serta
tidak hanya melihat
tekstual kalimatnya
saja tapi memahami makna dan motif
setiap ayat Ilahi dan
sunnah Rasulallah saw.
sehingga ayat ilahi dan
sunnah ini satu sama
lain tidak akan berlawanan maknanya.
Berbuat kebaikan itu
sangat luas sekali
maknanya bukan hanya
masalah peribadatan
saja. Termasuk juga kebaikan adalah
hubungan baik antara
sesama manusia
(toleransi) baik antara
sesama muslimin
maupun antara muslim dan non-muslim (yang
tidak memerangi kita),
antara manusia dengan
hewan, antara manusia
dan alam semesta.
Sebagaimana para ulama pakar Islam
klasik pendahulu kita
sudah menegaskan
bahwa pelanggaran hak
asasi manusia tidak
akan diampuni kecuali oleh orang yang
bersangkutan,
sementara hak asasi
Tuhan diurus oleh diri-
Nya sendiri. Manusia
manapun tidak pernah diperkenankan
membuat klaim-klaim
yang dianggap mewakili
hak Tuhan. Dalam
konsep tauhid, Allah
lebih dari mampu untuk melindungi hak-hak
pribadi-Nya. Karena itu,
kita harus berhati-hati
untuk tidak melanggar
hak-hak asasi manusia.
Dalam Islam, Tuhan sendiripun tidak akan
mengampuni
pelanggaran terhadap
hak asasi orang lain,
kecuali yang
bersangkutan telah memberi maaf.

Sabtu, 30 Juli 2011

B I D ' A H

Kita, kaum AhluSunnah, telah seri ng menjelaskan bahwa bid’ah itu terbagi 5 macam, yaitu bid’ah yang mubah, bid’ah yang mandub, bid’ah yang wajib (ketiga macam ini biasa disebut bid’ah hasanah atau mahmudah), bid’ah yang makruh, dan bid’ah yang haram (yang dua ini biasa disebut bid’ah sayyi’ah atau madzmumah). Namun kaum wahhabi terus saja menolaknya dengan perkataan- perkataan yang mereka sendiri tidak benar- benar memahaminya. Misalnya mereka menukil
perkataan Imam ibnu Rajab: ُّﻞُﻛ ٍﺔَﻋْﺪِﺑ ٌﺔَﻟَﻼَﺿ , ُﺩﺍَﺮُﻤْﻟﺍَﻭ ِﺔَﻋْﺪِﺒْﻟﺎِﺑ ﺎَﻣ َﺙِﺪْﺣُﺃ ﺎَّﻤِﻣ َﻻ َﻞْﺻَﺃ ُﻪَﻟ ﻲِﻓ ِﺔَﻌْﻳِﺮَّﺸﻟﺍ ُّﻝُﺪَﻳ ِﻪْﻴَﻠَﻋ , ﺎَّﻣَﺃَﻭ ﺎَﻣ َﻥﺎَﻛ ُﻪَﻟ ٌﻞْﺻَﺃ َﻦِﻣ ِﻉْﺮَّﺸﻟﺍ ُّﻝُﺪَﻳ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﺲْﻴَﻠَﻓ ٍﺔَﻋْﺪِﺒِﺑ ﺎًﻋْﺮَﺷ ْﻥِﺇَﻭ َﻥﺎَﻛ ًﺔَﻐُﻟ ًﺔَﻋْﺪِﺑ “(Kullu bid’atin dholalah) Yang dimaksud dengan bid’ah adalah perbuatan baru yang tidak ada penunjukannya dalam syari’at, adapun yang memiliki asal dalam syari’at
penunjukkannya maka bukan bid’ah secara istilah walaupun termasuk bid’ah secara bahasa”. (Jami’ul Ulum wal Hikam: 252) Mereka beranggapan bahwa perkataan Imam ibnu Rajab ini menihilkan bid’ah hasanah dalam agama, artinya semua bid’ah dalam agama adalah sesat. Padahal yang ingin Imam ibnu Rajab katakan adalah yang dimaksud dengan bid’ah adalah perbuatan baru yang tidak ada asalnya dalam syari’at yang menjadi dalil atasnya; sedangkan
perbuatan baru yang memiliki asal dalam syari’at yang menjadi dalil atasnya, maka ia bukan bid’ah menurut syari’at, namun ia adalah bid’ah secara bahasa saja. Jadi, segala perbuatan baru yang mempunyai asal dalam syari’at itu tidak disebut bid’ah syar’an (bid’ah menurut syari’at) yang mana bid’ah syar’an itu adalah sesat. Segala perbuatan baru yang mempunyai asal dalam syari’at tidaklah sesat, karena ia tidak termasuk bid’ah yang dimaksud oleh syari’at. Kemudian mereka mengutip: ُّﻞُﻛَﻭ ٍﺔَﻋْﺪِﺑ ٌﺔَﻟَﻼَﺿ , ُﺔَﻋْﺪِﺒﻟﺍ ًﺔَﻐُﻟ : ﺎَﻣ َﻞِﻤُﻋ ﻰَﻠَﻋ ِﺮْﻴَﻏ ٍﻝﺎَﺜِﻣ ٍﻖِﺑﺎَﺳ , ُﺩﺍَﺮُﻤﻟﺍَﻭ ﺎَﻬِﺑ ﺎَﻨُﻬَﻫ ﺎَﻣ َﻞِﻤُﻋ ْﻦِﻣ ِﻥْﻭُﺩ ْﻥَﺃ َﻖِﺒْﺴَﻳ ُﻪَﻟ ٌﺔًﻴِﻋْﺮَﺷ ْﻦِﻣ ٍﺏﺎَﺘِﻛ َﻻَﻭ ٍﺔَّﻨُﺳ … َّﻢُﺛ َﻝﺎَﻗ : ُﻪُﻟْﻮَﻘَﻓ ) ُّﻞُﻛ ٍﺔَﻋْﺪِﺑ ٌﺔَﻟَﻼَﺿ ( ٌﺹْﻮُﺼْﺨَﻣ ٌﻡﺎَﻋ “(Kullu bid’atin dholalah) Bid’ah secara bahasa adalah
apa yang diamalkan tanpa ada contoh sebelumnya, dan yang dimaksud di sini adalah apa yang diamalkan tanpa didahului amalan syar’i dari kitab dan sunnah … lalu beliau berkata: maka sabdanya (kullu bid’atin dholalah) adalah umum yang dikhususkan”. (Lihat kitab Subulussalam, As- Shan’ani: 2/103-104) Lagi-lagi mereka tak paham akan apa yang mereka kutip. Perkataan ‘kullu bid’atin
dholalah’ (setiap bid’ah adalah sesat) adalah ‘Aamun Makhshuush (perkara umum yang ditakhshish). Jadi maksudnya tidak semua bid’ah itu sesat, melainkan ada pengecualiannya. Dan dalam Subulus Salam itu sendiri dijelaskan bahwa bid’ah itu ada 5 macam, yaitu wajib, mandub, mubah, haram, dan makruh. Jadi, tidak semua bid’ah itu sesat, tetapi ada juga yang wajib, mandub, dan mubah. Jika kita bicara wajib dan mandub, maka
kita bicara tentang sesuatu yang berpahala jika mengerjakannya, dan ini berarti kita bicara tentang ibadah. Imam Nawawi berkata dalam al-Minhaj: ﻝﺎﻗ ﺀﺎﻤﻠﻌﻟﺍ : ﺔﻋﺪﺒﻟﺍ ﺔﺴﻤﺧ ﻡﺎﺴﻗﺃ : ﺔﺒﺟﺍﻭ ﺔﺑﻭﺪﻨﻣﻭ ﺔﻣﺮﺤﻣﻭ ﺔﻫﻭﺮﻜﻣﻭ ﺔﺣﺎﺒﻣﻭ ، ﻦﻤﻓ ﺔﺒﺟﺍﻮﻟﺍ ﻢﻈﻧ ﺔﻟﺩﺃ ﻦﻴﻤﻠﻜﺘﻤﻟﺍ ﺩﺮﻠﻟ ﻰﻠﻋ ﺓﺪﺣﻼﻤﻟﺍ ﻦﻴﻋﺪﺘﺒﻤﻟﺍﻭ ﻪﺒﺷﻭ ﻚﻟﺫ ، ﻦﻣﻭ ﺔﺑﻭﺪﻨﻤﻟﺍ ﻒﻴﻨﺼﺗ ﺐﺘﻛ ﻢﻠﻌﻟﺍ ﺀﺎﻨﺑﻭ ﺱﺭﺍﺪﻤﻟﺍ ﻂﺑﺮﻟﺍﻭ ﺮﻴﻏﻭ ﻚﻟﺫ ، ﻦﻣﻭ ﺡﺎﺒﻤﻟﺍ ﻂﺴﺒﺘﻟﺍ ﻲﻓ ﻥﺍﻮﻟﺃ ﺔﻤﻌﻃﻷﺍ ﺮﻴﻏﻭ ﻚﻟﺫ ، ﻡﺍﺮﺤﻟﺍﻭ ﻩﻭﺮﻜﻤﻟﺍﻭ ﻥﺍﺮﻫﺎﻇ Berkata para Ulama: Bid’ah itu lima bagian, yaitu bid’ah yang wajib,
yang mandub, yang mubah, yang makruh dan yang haram. Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil–dalil pada ucapan– ucapan yang menentang kemungkaran, dsb. Contoh bid’ah yang mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku-buku ilmu syariah, membangun majelis ta’lim dan pesantren, dsb. Dan bid’ah yang mubah adalah bermacam–macam dari jenis makanan, dsb. Dan bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui. Merayakan Maulid Nabi Lalu sebagian wahabiyyun mengatakan
bahwa merayakan maulidur Rasul bukanlah bid’ah hasanah, karena Al-‘Iz bin Abdis Salam tidak menyebutkannya ketika menyebutkan contoh-contoh bid’ah hasanah. Betapa memaksakannya,
bukan? Hanya karena Al-‘Iz tidak menyebutkannya, lalu disimpulkan bahwa hal itu adalah bid’ah dholalah. Cara berfikir yang sangat bodoh untuk orang yang sering menggembar- gemborkan keilmiahan. Imam Jalaluddin as- Suyuthi dalam kitabnya ‘Husnul Maqshad fi Amalil Maulid’ memberikan penjelasan tentang Maulid Nabi shollallohu ‘alayhi wa sallam : Menurutku, bahawa hukum dasar kegiatan maulid yang berupa berkumpulnya orang- orang yang banyak, membaca beberapa ayat-ayat al-Quran, menyampaikan khabar- khabar yang diriwayatkan tentang awal perjalanan hidup Nabi shollallohu ‘alayhi wasallam dan tanda- tanda kebesaran yang terjadi pada waktu kelahiran Baginda, kemudian dihidangkan makanan untuk mereka dan mereka pun makan bersama, lalu mereka pun berangkat pulang, tanpa ada tambahan kegiatan lain. Adalah termasuk bid’ah hasanah dan diberikan pahala bagi orang yang melakukannya. Imam al-Hafizh Abu Fadhl Ibnu Hajar telah menjelaskan dasar hukumnya sunnah. Imam Abu Syamah berkata : Merupakan Bid’ah hasanah yang mulia di zaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul saw dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul saw dan membangkitkan rasa cinta pada beliau saw, dan bersyukur kepada Allah dengan kelahiran Nabi saw. (I’anatut Tholibin, juzu’
III, halaman 364) Imam Abu Syamah adalah seorang ulama besar madzhab Syafi’i dan merupakan guru dari Imam An Nawawi. Imam ibnu Hajar Al- Asqalani Al-Hafizh berkata: Telah jelas dan kuat riwayat yang sampai padaku dari shahihain bahwa Nabi saw datang ke Madinah dan bertemu dengan Yahudi yang berpuasa hari asyura (10 Muharram), maka Rasul saw bertanya maka mereka berkata : “Hari ini hari ditenggelamkannya
Fir’aun dan Allah menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah SWT, maka bersabda Rasul SAW : “Kami lebih berhak atas Musa as dari kalian”, maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas anugerah yang diberikan pada suatu hari tertentu setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa didapatkan dengan pelbagai cara, seperti sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca Alqur’an, maka nikmat apalagi yang melebihi kebangkitan Nabi ini? Telah berfirman Allah SWT “SUNGGUH ALLAH TELAH MEMBERIKAN ANUGERAH PADA ORANG- ORANG MU`MININ KETIKA DIBANGKITKANNYA RASUL DARI MEREKA” (QS. Ali Imran: 164) Imam Al Hafidh Assakhawiy dalam kitab Sirah Al Halabiyah berkata: ”Tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan
setelahnya, dan tetap melaksanakannya umat islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah pada malamnya dengan berbagai macam sedekah dan memperhatikan
pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka keberkahan yang sangat besar” Maka jelaslah bahwa para Imam ini mengakui adanya bid’ah hasanah yang mana diberikan pahala bagi mereka yang mengamalkannya. Para Imam ini juga mengakui bahwa merayakan maulidur Rasul adalah bid’ah hasanah. َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ َﻥﻮُﻌِﺒَّﺘَﻳ َّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ َﻝﻮُﺳَّﺮﻟﺍ َّﻲِّﻣﻷﺍ ﻱِﺬَّﻟﺍ ُﻪَﻧﻭُﺪِﺠَﻳ ﺎًﺑﻮُﺘْﻜَﻣ ْﻢُﻫَﺪْﻨِﻋ ﻲِﻓ ِﺓﺍَﺭْﻮَّﺘﻟﺍ ِﻞﻴِﺠْﻧﻹﺍَﻭ ْﻢُﻫُﺮُﻣْﺄَﻳ ِﻑﻭُﺮْﻌَﻤْﻟﺎِﺑ ْﻢُﻫﺎَﻬْﻨَﻳَﻭ ِﻦَﻋ ِﺮَﻜْﻨُﻤْﻟﺍ ُّﻞِﺤُﻳَﻭ ُﻢُﻬَﻟ ِﺕﺎَﺒِّﻴَّﻄﻟﺍ ُﻡِّﺮَﺤُﻳَﻭ ُﻢِﻬْﻴَﻠَﻋ َﺚِﺋﺎَﺒَﺨْﻟﺍ ُﻊَﻀَﻳَﻭ ْﻢُﻬْﻨَﻋ ْﻢُﻫَﺮْﺻِﺇ َﻝﻼْﻏﻷﺍَﻭ ﻲِﺘَّﻟﺍ ْﺖَﻧﺎَﻛ ْﻢِﻬْﻴَﻠَﻋ َﻦﻳِﺬَّﻟﺎَﻓ ﺍﻮُﻨَﻣﺁ ِﻪِﺑ ُﻩﻭُﺭَّﺰَﻋَﻭ ُﻩﻭُﺮَﺼَﻧَﻭ ﺍﻮُﻌَﺒَّﺗﺍَﻭ َﺭﻮُّﻨﻟﺍ ﻱِﺬَّﻟﺍ َﻝِﺰْﻧُﺃ ُﻪَﻌَﻣ َﻚِﺌَﻟﻭُﺃ ُﻢُﻫ َﻥﻮُﺤِﻠْﻔُﻤْﻟﺍ (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang umi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur’an), mereka itulah orang- orang yang beruntung. (QS. Al-A’raaf: 157) Termasuk orang yang beruntung adalah mereka yang beriman kepada Nabi Muhammad, memulyakan Nabi Muhammad, menolong Nabi Muhammad, dan mengikuti cahaya yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shollallohu ‘alayhi wa sallam. Dan perayaan maulid ini adalah sarana untuk menumbuhkan kecintaan kepada Nabi Muhammad shollallohu ‘alayhi wa sallam. Di dalamnya terdapat puji-pujian untuk memulyakan Nabi Muhammad shollallohu ‘alayhi wa sallam. Maka semua hal ini adalah baik dan tidak menyelisihi syari’at. ﺎَﻨَﺛﺪﺣ ﺔَﻠَﻣْﺮَﺣ ُﻦْﺑ ﻰَﻴْﺤَﻳ َﻝﺎَﻗ : ُﺖْﻌِﻤَﺳ َﺪَّﻤَﺤُﻣ َﻦْﺑ َﺲْﻳِﺭْﺩِﺇ ُﻝْﻮُﻘَﻳ ﻲِﻌِﻓﺎَّﺸﻟﺍ : ُﺔَﻋْﺪِﺒﻟﺍ ِﻥﺎَﺘَﻋْﺪِﺑ ٌﺔَﻋْﺪِﺑ ٌﺓَﺩْﻮُﻤْﺤَﻣ ٌﺔَﻋْﺪِﺑَﻭ ٌﺔَﻣْﻮُﻣْﺬَﻣ ، ﺎَﻤَﻓ َﻖَﻓﺍَﻭ َﺔَّﻨُّﺴﻟﺍ َﻮُﻬَﻓ ٌﺩْﻮُﻤْﺤَﻣ ﺎَﻣَﻭ َﻒَﻟﺎَﺧ َﺔَّﻨُّﺴﻟﺍ َﻮُﻬَﻓ ٌﻡﻮُﻣْﺬَﻣ ، َّﺞَﺘْﺣﺍَﻭ ِﻝْﻮَﻘِﺑ َﺮَﻤُﻋ ِﻦْﺑ ِﺏﺎَّﻄَﺨْﻟﺍ ﻲِﻓ ِﻡﺎَﻴِﻗ َﻥﺎَﻀَﻣَﺭ : ِﺖَﻤْﻌِﻧ ُﺔَﻋْﺪِﺒْﻟﺍ َﻲِﻫ Menceritakan kepada kami Harmalah bin Yahya dia berkata, “Saya mendengar Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i berkata, “Bid’ah itu ada dua, bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Maka bid’ah yang sesuai dengan sunnah adalah terpuji dan bid’ah yang menyelisihi sunnah adalah bid’ah yang tercela”, dan Imam Asy-
Syafi’i berdalil dengan perkataan Umar bin Al- Khottob tentang sholat tarawih di bulan Ramadhan “Sebaik-baik bid’ah adalah ini” (Hilyatul Auliya’ 9/113) Harmalah bin Yahya At- Tujibi (w. 243H) adalah murid Imam Syafi’i yang merupakan salah satu syaikh Imam Muslim. Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i meriwayatkan bahwa Imam Syafi’i berkata: “Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara- perkara baru yang menyalahi Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah bid’ah dholalah/sesat. Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela.” Maka jelaslah bahwa merayakan maulid dengan cara membaca shalawat, Al-Qur`an, riwayat hidup atau sirah Nabi, maka semua itu adalah perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan al-Qur`an, Hadits, atsar, ataupun ijma’. Shalih al-Fauzan, seorang tokoh wahhabi berkata dalam kitabnya ‘Kitabut Tauhid’, “Ibadah mencakup seluruh tingkah laku seorang mu`min jika diniatkan qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) atau apa- apa yang membantu qurbah.” Merayakan maulid ini tentunya merupakan salah satu sarana agar ummat ini bertambah cinta kepada Rasul dan memulyakan beliau. Ummat diajak bershalawat, membaca atau mendengarkan Al- Qur`an, mendengarkan taushiyah,
mendengarkan riwayat Nabi, dsb. ْﻦَﻋ ﻲِﺑَﺃ َﺓَﺮْﻳَﺮُﻫ َﻲِﺿَﺭ ُﻪَّﻠﻟﺍ ُﻪْﻨَﻋ َّﻥَﺃ َﻝﻮُﺳَﺭ ِﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُﻪَّﻠﻟﺍ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﻢَّﻠَﺳَﻭ َﻝﺎَﻗ ﻱِﺬَّﻟﺍَﻮَﻓ ﻲِﺴْﻔَﻧ ِﻩِﺪَﻴِﺑ ﺎَﻟ ُﻦِﻣْﺆُﻳ ْﻢُﻛُﺪَﺣَﺃ ﻰَّﺘَﺣ َﻥﻮُﻛَﺃ َّﺐَﺣَﺃ ِﻪْﻴَﻟِﺇ ْﻦِﻣ ِﻩِﺪِﻟﺍَﻭ ِﻩِﺪَﻟَﻭَﻭ Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Maka demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, tidaklah beriman (tidak sempurna iman) seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya dan anaknya. (Shahih Bukhari no.13) ْﻦَﻋ ٍﺲَﻧَﺃ َﻝﺎَﻗ َﻝﺎَﻗ ُّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُﻪَّﻠﻟﺍ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ﺎَﻟ ُﻦِﻣْﺆُﻳ ْﻢُﻛُﺪَﺣَﺃ ﻰَّﺘَﺣ َﻥﻮُﻛَﺃ َّﺐَﺣَﺃ ِﻪْﻴَﻟِﺇ ْﻦِﻣ ِﻩِﺪِﻟﺍَﻭ ِﻩِﺪَﻟَﻭَﻭ ِﺱﺎَّﻨﻟﺍَﻭ َﻦﻴِﻌَﻤْﺟَﺃ Dari Anas berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Tidaklah beriman (tidak sempurna iman) seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya dan dari manusia seluruhnya. (Shahih Bukhari no.14) Jika mereka masih beranggapan bahwa semua bid’ah itu sesat tanpa pengecualian, sungguh mereka telah menyelisihi pendapat para ulama mu’tabar. Mereka telah menyempal dari jama’ah. Semoga Allah menetapkan aku dan kalian pada jama’ah. Allah SWT tidak akan mengumpulkan ummat Muhammad Rasulullah saw dalam kesesatan. Tangan Allah bersama

Jumat, 15 Juli 2011

H I K M A H P U A S A

Manusia merupakan
makhluk yang tertinggi
derajatnya, oleh karena
itu manusia diutus oleh
Allah untuk menjadi
khalifah di muka bumi. Sebagai makhluk yang
tertinggi yang
membedakan antara
manusia dengan
makhluk Allah yang lain
adalah manusia dikaruniai oleh Allah
dengan akal sedangkan
makhluk Allah yang lain
tidak. Dengan akalnya
ini manusia berusaha
sejauh mungkin untuk mengupas rahasia-
rahasia alam karena
alam semesta ini
diciptakan oleh Allah
dan tak akan lepas dari
tujuannya untuk memenuhi kebutuhan
makhluknya. Hal ini
ditegaskan oleh Allah di
dalam salah satu
firman-Nya : "Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau
menciptakan ini (langit
dan bumi) dengan sia-
sia. Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa api neraka" (QS. Ali Imran : 191) Ayat inilah yang
membuat orang mulai
berpikir untuk mencari
hikmah dan manfaat
yang terkandung dalam
setiap perintah maupun larangan Allah
diantaranya adalah
hikmah yang
tersembunyi dari
kewajiban menjalankan
ibadah puasa di bulan Ramadhan yang
diperintahkan oleh Allah
khusus kepada orang-
orang yang beriman. Hal
ini seperti disebutkan di
dalam firman Allah yaitu : "Hai orang-orang
beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertaqwa" (QS. Al Baqarah : 183) Sudah barang tentu
hikmah puasa tersebut
sangat banyak baik
untuk kepentingan
pribadi maupun untuk
kepentingan umat (masyarakat) pada
umumnya. Diantara
hikmah-hikmah tersebut
yang terpenting dan
mampu dijangkau oleh
akal pikiran manusia sampai saat ini antara
lain : a. Memelihara kesehatan jasmani (Badaniyah) Sudah menjadi
kesepakatan para ahli
medis, bahwa hampir
semua penyakit
bersumber pada
makanan dan minuman yang mempengaruhi
organ-organ
pencernaan di dalam
perut. Maka sudah
sewajarnyalah jika
dengan berpuasa organ-organ
pencernaan di dalam
perut yang selama ini
terus bekerja mencerna
dan mengolah makanan
untuk sementara diistirahatkan mulai dari
terbit fajar hingga
terbenamnya matahari
selama satu bulan. Dengan berpuasa ini
maka ibarat mesin,
organ-organ
pencernaan tersebut
diservis dan dibersihkan,
sehingga setelah menjalankan ibadah
puasa di bulan
Ramadhan Insya Allah
kita menjadi sehat baik
secara jasmani maupun
secara rohani. Hal ini memang sudah
disabdakan oleh
Rasulullah SAW dalam
salah satu haditsnya
yang diriwayatkan oleh
Ibnu Suny dan Abu Nu’aim yaitu : Dari Abu Hurairah,
Rasulullah bersabda : "Berpuasalah maka
kamu akan sehat" (HR. Ibnu Suny dan Abu
Nu’aim) Juga dalam hadits yang
lain dari Abu Hurairah,
Rasulullah bersabda : "Bagi tiap-tiap sesuatu
itu ada pembersihnya
dan pembersih badan
kasar (jasad) ialah
puasa" (HR. Ibnu Majah) Dalam penelitian ilmiah,
kebenaran hadis ini
terbukti antara lain : 1. Fasten Institute (Lembaga Puasa) di
Jerman menggunakan
puasa untuk
menyembuhkan penyakit
yang sudah tidak dapat
diobati lagi dengan penemuan-penemuan
ilmiah dibidang
kedokteran. Metode ini
juga dikenal dengan
istilah "diet" yang
berarti menahan / berpantang untuk
makanan-makanan
tertentu. 2. Dr. Abdul Aziz Ismail dalam bukunya yang
berjudul "Al Islam wat
Tibbul Hadits"
menjelaskan bahwa
puasa adalah obat dari
bermacam-macam penyakit diantaranya
kencing manis (diabetes)
, darah tinggi, ginjal,
dsb. 3. Dr. Alexis Carel seorang dokter
internasional dan
pernah memperoleh
penghargaan nobel
dalam bidang
kedokteran menegaskan bahwa dengan berpuasa
dapat membersihkan
pernafasan. 4. Mac Fadon seorang dokter bangsa Amerika
sukses mengobati
pasiennya dengan
anjuran berpuasa
setelah gagal
menggunakan obat- obat ilmiah. b. Membersihkan rohani dari sifat-sifat hewani menuju kepada sifat- sifat malaikat Hal ini ditandai dengan
kemampuan orang
berpuasa untuk
meninggalkan sifat-sifat
hewani seperti makan,
minum (di siang hari). Mampu menjaga panca
indera dari perbuatan-
perbuatan maksiat dan
memusatkan pikiran dan
perasaan untuk berzikir
kepada Allah (Zikrullah). Hal ini merupakan
manifestasi
(perwujudan) dari sifat-
sifat malaikat, sebab
malaikat merupakan
makhluk yang paling dekat dengan Allah,
selalu berzikir kepada
Allah, selalu bersih, dan
doanya selalu diterima. Dengan demikian maka
wajarlah bagi orang
yang berpuasa
mendapatkan fasilitas
dari Allah yaitu
dipersamakan dengan malaikat. Hal ini
diperkuat oleh sabda
Rasulullah dalam salah
satu haditsnya yang
diriwayatkan oleh
Turmudzi yaitu : "Ada tiga golongan yang
tidak ditolak doa
mereka yaitu orang
yang berpuasa sampai
ia berbuka, kepala
negara yang adil, dan orang yang teraniaya
"(HR. Turmudzi). Juga dalam hadits lain
dari Abdullah bin ‘Amr
bin ‘As, Rasulullah SAW
bersabda : "Sesungguhnya orang
yang berpuasa diwaktu
ia berbuka tersedia doa
yang makbul" (HR. Ibnu Majah) Disamping itu hikmah
yang terpenting dari
berpuasa adalah
diampuni dosanya oleh
Allah SWT sehingga
jiwanya menjadi bersih dan akan dimasukkan
ke dalam surga oleh
Allah SWT. Hal ini
diperkuat dengan hadits
Nabi yaitu : Dari Abu Hurairah,
bahwa Rasulullah
bersabda : "Barang siapa berpuasa
di bulan Ramadhan
karena iman dan
perhitungannya
(mengharapkan
keridla’an Allah) maka diampunilah dosa-
dosanya. (HR. Bukhari) Juga dari hadits yang
diriwayatkan oleh
Bukhari yaitu : Dari Sahl r.a dari Nabi
SAW beliau bersabda : "Sesungguhnya di dalam
surga ada sebuah pintu
yang disebut dengan
Rayyan. Pada hari
kiamat orang-orang
yang berpuasa akan masuk surga dari pintu
itu. Tidak seorangpun
masuk dari pintu itu
selain mereka. (Mereka)
dipanggil : Mana orang
yang berpuasa ? Lalu mereka berdiri. Setelah
mereka itu masuk, pintu
segera dikunci, maka
tidak seorangpun lagi
yang dapat masuk" (HR. Bukhari) Dengan demikian maka
dapatlah disimpulkan
bahwa berpuasa
membawa manfaat yang
sangat besar bagi
manusia baik sebagai makhluk pribadi maupun
makhluk sosial. Sehingga
setelah seseorang
selesai menjalankan
ibadah puasa di Bulan
Suci Ramadhan diharapkan ia menjadi
bersih dan sehat baik
jasmani maupun rohani
dan kembali suci bagai
bayi yang baru lahir.
Amiin.

B A T A L P U A S A

Perihal Batalnya
Puasa Dan Hanya
Wajib Qadla Ada beberapa hal yang
membatalkan puasa
dengan konsekuensi
qadla` saja tanpa
berkewajiban membayar
kafarah, yaitu: 1. Masuknya satu
benda atau dzat
ke dalam perut
dari lobang
terbuka seperti
mulut, hidung, lobang penis,
anus dan bekas
infus, baik
sesedikit/sekecil
apapun, seperti
semut merah; ataupun benda
tersebut yang
tidak biasa
dimakan seperti
debu atau kerikil.
Masuk dalam kategori ini juga : Sengaja
mencium bau
renyah
daging
goreng; Menghirup
obat pelega
pernafaan
(semacam
vicks atau
mint) ket ika seseorang
merasa sesak
nafas; Menelan
kembali ludah
yang sudah
berceceran
dari pusat
kelenjar penghasil
ludah. Seperti
menelan
kembali ludah
yang sudah
keluar dari mulutnya
(dihukumi
sebagai
benda luar);
atau
seseorang membasahi
benang
dengan
ludahnya
kemudian
mengembalika n benang
yang basah
(oleh
ludahnya
tersebut) ke
dalam mulutnya dan
hasil ludah
tersebut
ditelannya
lagi; atau
menelan ludah yang
sudah
bercampur
dengan benda
lain -lebih-
lebih benda yang terkena
najis. Mempermaink
an ludah di
antara gigi-
gigi,
sementara ia
bisa memuntahkan
nya. Menelan sisa-
sisa makanan
yang
menempel di
antara gigi-
gigi meski sedikit,
sementara ia
sebenarnya
bisa
memisahkann
ya tanpa harus
menelannya. 2. Menelan dahak
yang sudah
sampai ke batas
luar mulut. Namun
jika kesulitan
memuntahkannya maka tidak apa-
apa; 3. Masuknya air
madlmadlah (air
kumur) atau air
istinsyaq (air
untuk
membersihkan hidung) ketika
wudlu hingga
melwati
tenggorokan atau
kerongkongan
karena berlebih- lebihan dalam
melakukannya. 4. Muntah dengan
sengaja walaupun
ia yakin bahwa
muntahan
tersebut tidak
ada yang kembali ke perut. 5. Ejakulasi ekster-
coitus (Istimna)
seperti onani --
baik dengan
tangan sendiri
maupun bantuan isterinya--, atau
mani tersebut
keluar disebabkan
sentuhan, ciuman,
maupun
melakukan petting
(bercumbu tanpa
senggama) tanpa
penghalang
(bersentuhan
kulit dengan kulit). Hal-hal
tersebut
membatalkan
puasa karena
interaksi secara
langsung menyentuh
kelamin hingga
menyebabkan
ejakulasi.
Adapun jika
seorang keluar mani karena
imajinasi sensual,
melihat sesuatu
dengan syahwat,
melakukan
petting tanpa sentuhan kulit
dengan kulit
(masih dihalangi
kain), maka tidak
apa-apa, karena
interaksi tersebut tidak
secara langsung
menyentuh
kelamin hingga
menyebabkan
ejakulasi. Dan hukumnya
disamakan
dengan mimpi
basah. Namun jika
hal itu dilakukan
berulang-ulang maka puasanya
batal, meskipun
tidak ejakulasi. 6. Jelas-jelas keliru
makan pada siang
hari, karena
sudah terbitnya
fajar atau belum
terbenamnya matahari.
Jika ia berbuka
puasa dengan
sebuah ijtihad
yaitu membaca
keberadaan awan kemerah-merahan
(sabagai tanda
waktu buka) atau
yang lain, seperti
cara menentukan
waktu sholat (secara
astronomis),
maka dibolehkan
atau sah
puasanya.
Namun, untuk kehati-hatian,
hindari makan di
penghujung hari
(berbuka) kecuali
dengan keyakinan
sudah saatnya berbuka. Juga
dibolehkan makan
di penghujung
malam (waktu
sahur) jika ia
menyangka masih ada waktu meski
sebenarnya
waktu fajar
sudah tiba dan
dimulutnya masih
ada makanan maka sah
puasanya. Sebab
dasar hukum itu
berangkat dari
keyakinan awal
yaitu belum terbit fajar. Akan
tetapi jika sudah
jelas-jelas ia
mengetahui
terbitnya fajar
(imsak) sementara di
mulutnya masih
ada makanan
kemudian ia
langsung
memuntahkan makanan
tersebut maka
tidak apa-apa,
namun jika masih
asyik
memakannya maka puasanya
batal. 7. Datang bulan
(haid), nifas, gila,
dan murtad.
Sebab kembali
pada syarat-
syarat sahnya puasa yaitu
sehat akal (Akil),
masuk ke jenjang
dewasa (baligh),
muslim, dan suci
dari haid dan nifas. Dengan
demikian batalnya
puasa tersebut
karena tidak
memenuhi
persyaratan tersebut diatas. D. Menurut Madzhab
Hanbali, antara lain: 1. Masuknya satu
benda (materi) ke
dalam perut atau
pembuluh nadi
dari lobang/
rongga badan dengan unsur
kesengajaan dan
sebagai
alternatif,
sementara ia
masih ingat betul bahwa dirinya
sedang puasa -
meski ia tidak
tahu hal tersebut
membatalkan-.
Baik benda tersebut bisa
dimakan seperti
makanan dan
minuman, atau
tidak, seperti
kerikil, dahak, tembakau kinang,
obat, pelumas
yang sampai ke
tenggorokan atau
otak, selang yang
dimasuk lewat anus, atau
merokok. CATATAN: Seperti Syafi`I,
Imam Hanbali
mensyaratkan
adanya unsur
kesengajaan
dalam hal batalnya puasa.
Jika seseorang
lupa, keliru, atau
ter/di paksa
melakukan hal-hal
yang membatalkan
puasa maka tidak
apa-apa. 2. memakai celak
mata hingga dzat
celak tersebut
sampai
tenggorokan. Jika
tidak sampai ke sana, maka tidak
apa-apa;.
Rasulullah
bersabda,
"Berhatilah-
hatilah orang yang puasa
dengannya (celak)
". 3. Muntah dengan
sengaja --baik
muntahan itu
berupa makanan,
ataupun
muntahan yang sudah pahit,
lendir, darah dan
lain-lain-- meski
sedikit sekalipun.
Rasulullah
bersabda, "Barang siapa terpaksa
harus muntah
maka ia tidak
perlu mengulang
puasanya, dan
barang siapa muntah dengan
sengaja maka ia
wajib qadla`". 4. Berbekam. Baik
subyek maupun
obyek disini
dianggap batal
puasanya jika
benar-benar terlihat darah.
Rasul bersabda,
"membatalkan
(puasa) pelaku
dan obyek
bekam". Namun jika tidak sampai
kelihatan maka
tidak apa-apa. 5. Berciuman, onani,
bersentuhan,
bersetubuh tanpa
penetrasi
(persenggamaan)
-baik yang keluar mani atau madzi-.
Begitujuga
Keseringan
menonton obyek
sensual hingga
keluar mani bukan madzi; 6. Murtad secara
mutlak, karena
firman Allah swt.:
"Jika kamu
benar-benar
musyrik, maka amal kamu akan
benar-benar
terhapus". 7. Meninggal dalam
keadaan puasa
wajib maka ahli
waris harus
mengqadla puasa
untuk hari kematiaannya.
Namun jika pada
hari kematiaanya,
ia dalam keadaan
menjalankan
puasa nazar atau kafarah, maka
ahli waris hanya
memberi makan
orang miskin
(tidak perlu
mengqadla). 8. Jelas-jelas salah
makan di siang
hari. Jika ada keraguan
bahwa matahari sudah
terbenam kemudian ia
berbuka (seperti halnya
ia berbuka namun ia
masih menyangka matahari belum
terbenam dan memang
kenyataan matahari
belum terbenam) maka
batal puasa dan harus
mengqadla. Termasuk batal dan
wajib qadla juga, jika
seseorang makan
karena lupa, kemudian
ia menyangka dirinya
sudah batal sehingga ia meneruskan makan
dengan sengaja.
(bersambung)